“Ketika Alam Mulai Berbicara Lebih Keras”
Budi Setiawan
Penulis: Budi Setiawan
BEBERAPA tahun terakhir, Sumatera seperti panggung besar yang terus-menerus menampilkan drama alam. Seperti banjir bandang yang datang tiba-tiba, longsor yang merenggut permukiman, hingga kebakaran hutan yang membuat langit berubah jingga. Setiap kali kabar itu muncul, saya merasakan ada semacam pesan yang sedang disampaikan alam, yaitu sebuah seruan yang semakin lama semakin keras. Namun kita, manusia, kerap mendengarnya terlambat.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa wilayah Sumatera merupakan salah satu kawasan dengan tingkat kejadian bencana hidrometeorologi tertinggi di Indonesia. Banjir dan tanah longsor mendominasi, terutama pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi. Meski angka dapat berbeda setiap tahunnya, pola yang berulang membuat kita memahami bahwa ini bukan lagi peristiwa acak. Ada relasi erat antara bencana dan apa yang kita lakukan terhadap lingkungan.
Salah satu penyebab yang paling sering disorot adalah kerusakan hutan. Dari dulu saya selalu percaya bahwa hutan adalah paru dan penopang tanah. Menurut teori ekologi klasik, seperti konsep ekosistem stabil menegaskan bahwa semakin terjaga keutuhan ekosistem, semakin kecil kemungkinan terjadinya gangguan ekstrem. Di Sumatera, deforestasi besar-besaran untuk perkebunan, pertambangan, dan permukiman membuat struktur ekologis menjadi timpang. Pohon-pohon yang seharusnya menahan air kini semakin jarang. Aliran permukaan meningkat, tanah kehilangan “pegangan”, dan ketika hujan turun deras, bencana pun tinggal menunggu waktu.
Dalam perspektif biologi lingkungan, ada pula konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity). Lingkungan memiliki batas kemampuan untuk menahan tekanan dari aktivitas manusia. Jika batas itu terlampaui, maka sistem akan memulihkan diri dengan caranya sendiri sering kali berupa peristiwa yang tampak destruktif bagi manusia. Kita bisa melihat bencana ini sebagai bentuk respon balik ekosistem terhadap tekanan yang berlebihan.
Selain faktor ekologis, pembangunan yang kurang memperhatikan aspek geologi turut memperparah situasi. Sumatera terletak pada jalur cincin api dan menyimpan banyak struktur patahan aktif. Ketika lereng-lereng bukit diganggu dan drainase alami diubah, kestabilannya pun menurun. Longsor menjadi risiko yang tak terelakkan.
Namun bukan berarti kita tidak memiliki jalan keluar. Pemerintah dan masyarakat sesungguhnya memegang peran sama besar dalam menghadapi persoalan ini.
Bagi pemerintah, penegakan regulasi menjadi kunci pertama. Saya selalu merasa bahwa peraturan kita sebenarnya cukup baik, hanya saja pelaksanaannya sering berhenti di atas kertas. Langkah seperti moratorium pembukaan hutan, penataan kawasan rawan bencana, dan revitalisasi daerah aliran sungai (DAS) harus dilakukan lebih konsisten. Pemantauan berbasis teknologi, misalnya sistem peringatan dini dengan sensor curah hujan dan pergerakan tanah harus diperluas, terutama di daerah rawan longsor.
Masyarakat pun bukan sekadar penonton. Kesadaran ekologis tingkat lokal sering kali menjadi benteng terakhir ketika kebijakan belum berjalan sempurna. Mengurangi pembakaran lahan, menanam kembali vegetasi penahan erosi, menjaga kebersihan sungai dari sampah yang menghambat alirannya, hingga aktif mengikuti pelatihan mitigasi bencana adalah langkah kecil yang sesungguhnya berdampak besar. Prinsip biologi konservasi mengajarkan bahwa perlindungan lingkungan tidak akan berhasil tanpa keterlibatan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Pada akhirnya, bencana alam di Sumatera bukan hanya soal hujan yang terlalu deras atau tanah yang terlalu rapuh. Ini adalah cerita tentang hubungan yang retak antara manusia dan alam. Dan seperti hubungan apa pun, penyembuhannya menuntut kesadaran, tanggung jawab, dan perubahan nyata.
Saya percaya, jika kita benar-benar mau mendengar apa yang sedang disuarakan alam, kita akan menemukan bahwa bencana bukan sekadar peringatan, melainkan kesempatan untuk memperbaiki cara kita hidup di atas tanah ini.(***)
Berita Serupa yang Mungkin Anda Suka
-
Taruna Ikrar Dokter Diaspora Dari Selayar
Penulis: Rusman Madjulekka
INILAH anak muda yang juga a...
-
Bupati Husniah Talenrang Yang Merakyat, Bertemu dengan Rangga Sang "Ubi Kayu Bakar" Viral
GOWA, TERAS BERITA, COM---- Beredar foto Bupati Gowa Hj. Husniah Talenrang di media sosial bebera...
-
Menjemput 100 Hari Hati-Damai, Azhari Azis: Jadikan Gowa Lebih Bersih
Wawancara Khusus Dengan Kadis Lingkungan Hidup Pemkab Gowa, Azhari Azid AP MM.


