Masa Depan Dan Keberlanjutan Sidrap, Menunggu Atau Membentuk

15 Mei 2025 13:35:10 Humaniora
Reporter : rusman madjukekka   |   Editor : Admin   |   Jumlah dibaca: 227
Prof Dr Mursalim Nohong SE M.Si CWM

Penulis Mursalim Nohong

(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin)

DI tengah gelombang perubahan global yang melanda dunia, seperti perubahan iklim, transformasi digital, krisis energi, dan tekanan sosial ekonomi, muncul satu pertanyaan mendasar. 

“Apakah akan menunggu masa depan terjadi ataukah ikut membentuknya?”

Tanya ini makin relevan saat kita bicara tentang daerah-daerah yang punya kekayaan alam dan kultural seperti kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan dan seringkali menjadi sumber keunggulan. 

Sidrap tidak hanya dikenal karena sejarah dan keislamannya tetapi juga karena potensinya yang besar dalam sektor pertanian (bahkan menjadi lumbung pangan nasional), energi terbarukan, dan sumber daya manusia yang kuat. 

Sidrap bukan hanya sekadar nama administratif. Ia adalah tanah warisan nilai, tanah perjuangan, dan simbol transformasi. Dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Sidrap tumbuh dengan identitas agraris yang kuat. 

Beberapa dekade terakhir, Sidrap menunjukkan langkah progresif melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) terbesar di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa Sidrap tidak hanya menunggu perubahan, tetapi mulai merintis jalan sebagai pelaku dalam transformasi energi nasional. 

Pembangunan infrastruktur besar ini belum cukup jika tidak dibarengi dengan pembangunan karakter manusianya. Tapi juga butuh inovasi berbasis kearifan lokal, dan pengelolaan sumber daya secara adil dan lestari. 

Namun, ditengah potensi dan keunggulan tersebut, apakah Sidrap akan menjadi penonton dalam kancah perubahan atau mengambil peran dan menjadi aktor utama dalam membentuk masa depannya sendiri yang berkelanjutan?  

Menunggu masa depan atau menyusunnya?

Dalam realitas pembangunan daerah, pemerintah dan masyarakat seringkali tampil dengan sikap menunggu. Menunggu instruksi dari pusat, menunggu bantuan dari luar, menunggu investor datang. 

Padahal, menunggu tanpa bertindak adalah jalan pelan tapi pasti menuju stagnasi apalagi ditengah issu efisiensi yang seharusnya dijadikan momentum melakukan perubahan. 

Dalam konteks ini, Sidrap tidak bisa lagi hanya menunggu. Perubahan iklim sudah merusak siklus pertanian. Anak-anak muda (Gen Z) meninggalkan kampung halaman dan tata nilai yang telah menjadi pondasi peradaban generasi “nene mallomo”.  

Ketergantungan pada beras tanpa diversifikasi membuat ekonomi lokal rentan terhadap gejolak harga. Kini saatnya untuk menempatkan Sidrap sebagai subjek perubahan bukan objek pembangunan. 

Masa depan bukan sesuatu yang jatuh dari langit ibarat pepatah durian runtuh. Mada depan harus dibangun dengan kesadaran, strategi, dan aksi nyata—mulai dari desa hingga tingkat kabupaten.

Keberlanjutan ditanah kelahiran

Isu keberlanjutan telah berkembang luas sehingga pembicaraan tidak bisa hanya soal lingkungan tetapi lebih luas dari itu. Di Sidrap, keberlanjutan adalah soal:

Pertama, Keberlanjutan lingkungan. Timbul pertanyaan, bagaimana menjaga dan merawat danau Sidenreng dari pencemaran? Bagaimana mencegah banjir akibat alih fungsi lahan? Apakah hutan di wilayah pegunungan tetap lestari, ataukah menjadi korban ekspansi? Masyarakat dan pemerintah secara proporsional mengambil peran bukan menunggu peran.

Kedua, Keberlanjutan sosial. Apakah generasi muda Sidrap masih mewarisi nilai-nilai Nene’ Mallomo yang mengajarkan kejujuran dan tanggung jawab? Apakah budaya lokal masih hidup atau sudah tergeser budaya instan? 

Ketiga , Keberlanjutan ekonomi. Bisakah Sidrap bertahan sebagai penghasil pangan ketika sawah mulai tergantikan oleh properti? Bisakah petani mendapatkan nilai tambah dari produksi, bukan hanya sebagai produsen primer? 

Riset Yusriah Arief (2022) menemukan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di Sidrap terutama di kecamatan Maritengngae dan Panca Rijang dengan melihat data 2021 terus meningkat disebabkan oleh pertambahan penduduk dan faktor ekonomi yang membuat masyarakat menjual dan mengalihfungsikan lahan yang dimiliki untuk peruntukkan lain.

Keempat, Keberlanjutan energi dan inovasi. Dengan hadirnya PLTB, akankah masyarakat lokal hanya menjadi penonton ataukah juga terlibat sebagai pelaku ekonomi hijau?

Kelima, Keberlanjutan spiritual dan moral. Nilai religius yang tertanam kuat di Sidrap harus menjadi energi moral dalam menghadapi zaman. Tidak cukup hanya membangun fisik, tapi juga membangun jiwa dan akhlak masyarakatnya. 

Reorientasi dan reaktualisasi menjadi penting dilakukan sebagai upaya mempertahankan tatanan hidup masyarakat. Keduanya sangat dibutuhkan oleh karena penurunan kualitas moral akibat pengaruh negatif globalisasi, teknologi, dan modernisasi dan masyarakat kehilangan arah dalam menentukan baik-buruk karena adanya relativisme nilai. 

Keberhasilan diukur hanya dengan pertimbangan ekonomi padahal dipahami bersama bahwa ekonomi selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan. 

Agar tidak hanya menunggu, Sidrap perlu strategi transformasi keberlanjutan jangka panjang berbasis empat pilar:

Pilar pertama, pendidikan dan literasi masa depan. Pendidikan di Sidrap harus melampaui kurikulum nasional yang normatif dengan memberikan penguatan pada:Pendidikan lingkungan hidup berbasis lokal (ekosistem danau, pertanian ramah lingkungan), Literasi teknologi untuk generasi muda, Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal seperti pesan-pesan Nene’ Mallomo misalnya dengan memasukkan kedalam bahan ajar di SD hingga SMP.

Pilar kedua , ekonomi hijau dan inovatif. Transformasi ekonomi Sidrap harus menuju:Agroindustri berbasis teknologi yang tidak hanya menjual hasil panen tapi juga produk olahan, Pertanian organik dan sistem tanam ramah iklim, Pengembangan ekowisata dan wisata spiritual di kawasan-kawasan religius yang selama ini belum tergarap maksimal.

Pilar ketiga, Digitalisasi dan kewirausahaan lokal.Generasi muda Sidrap harus digerakkan untuk menjadi:Wirausahawan digital bukan hanya pencari kerja apalagi menggeluti profesi Passobis, Pelopor platform lokal berbasis komunitas untuk memasarkan produk, jasa, dan budaya, Pengembang konten digital yang merepresentasikan Sidrap secara positif ke dunia luar.

Pilar keempat, kepemimpinan transformasional dan partisipatif. Sidrap membutuhkan pemimpin yang:Visioner dan tidak hanya berorientasi pada periode jabatan, Membangun partisipasi masyarakat bukan dominasi elit, Mengedepankan etika publik dan keberanian membuat keputusan strategis meskipun tidak populis seperti tindakan berani kepala daerah terhadap praktik-praktik 4S.

Spirit nene’ Mallomo dan Menyatukan Narasi

Tokoh legendaris Nene’ Mallomo meninggalkan pesan yang sangat dalam “Resopa natemmangingngi namalomo naletei pammase dewata.”

Pesan ini harus dijadikan etos pembangunan keberlanjutan. Artinya, membentuk masa depan bukan hanya tentang teknologi atau infrastruktur. Tumpuannya pada warisan nilai, komitmen, dan integritas. Tinggal bagaimana warisan tersebut dijadikan fondasi untuk membentuk masa depan yang lebih hijau, adil, dan manusiawi.

Membentuk masa depan bukanlah kerja satu orang atau satu lembaga. Ia adalah kerja kolaboratif. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, pesantren, tokoh adat, dan masyarakat sipil harus bersatu.

Pembangunan yang hanya berorientasi pada proyek akan cepat lapuk. Tapi pembangunan yang berbasis narasi bersama akan langgeng. Maka perlu disusun “Narasi Besar Sidrap Masa Depan” yang dijadikan acuan lintas sektor yang mengedepankan keadilan generasi, menyatukan tradisi dan inovasi dan menjadikan keberlanjutan sebagai misi utama.

Apa yang terjadi di Sidrap hari ini, adalah cermin dari pilihan kolektif masyarakatnya. Apakah memilih untuk menunggu dan bersikap reaktif, ataukah memilih untuk membentuk dan menjadi pelaku sejarah? 

Masa depan tidak datang sebagai hadiah. Ia datang sebagai hasil dari keberanian, kerja keras, dan imajinasi. Sidrap memiliki semua potensi sumber daya alam, modal sosial, nilai religius, dan semangat kearifan lokal. 

Tugas bersama adalah memastikan bahwa semuanya diarahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Masa depan Sidrap bukan untuk ditunggu, tapi untuk dibentuk. 

Ketika Sidrap memilih membentuk masa depannya sendiri, ia tidak hanya menyelamatkan tanahnya tetapi ikut menyumbangkan bab penting dalam pembangunan Indonesia yang berkelanjutan sekiranya 2045 memang ada. (***)

Nama

Komentar

Berita Serupa yang Mungkin Anda Suka

Berita Terbaru