Lebih Dari Sekadar Nilai, Mencari Tolok Ukur Pendidikan Indonesia Yang Sebenarnya

12 Mei 2025 19:38:42 Pendidikan
Reporter : asa   |   Editor : Admin   |   Jumlah dibaca: 142
Budi Setiawan S.Pd M.Pd

Penulis  Budi Setiawan S.Pd M.Pd

Pengajar di SMA Al Bayan Makassar

BERBICARA soal pendidikan Indonesia, pertanyaan yang sering muncul di benak kita adalah sebenarnya apa sih tolok ukur pendidikan kita itu? Apa yang menjadi standar sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia ini sudah tergolong baik, atau justru masih jauh dari kata ideal?

Selama ini, yang sering dijadikan acuan adalah nilai. Semakin tinggi nilai siswa, maka dianggap semakin bagus kualitas pendidikannya. Sekolah-sekolah yang siswanya langganan juara olimpiade atau yang sering lolos PTN favorit pun langsung dicap unggulan. Tapi, benarkah nilai semata-mata bisa menjadi patokan utama? Menurut saya, tidak sesederhana itu.

Kalau kita mau jujur. Pendidikan itu seharusnya bukan hanya tentang akademik, apalagi cuma sekadar angka-angka di rapor. Pendidikan adalah proses panjang untuk membentuk karakter, cara berpikir, serta kemampuan menghadapi kehidupan nyata.

Kalau siswa cerdas secara teori tapi tidak punya empati, tidak bisa bekerja sama, atau gagap menghadapi masalah sehari-hari, apakah itu masih bisa disebut sebagai “hasil pendidikan yang bagus”? Apalagi kita ketahui bersama tujuan pendidikan nasional kita adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Di sisi lain, pemerintah juga punya tolok ukur sendiri yang kadang kurang relevan dengan realitas di lapangan. Misalnya, Ujian Nasional (yang sekarang sudah berubah format menjadi Asesmen Nasional) sempat dijadikan parameter keberhasilan siswa dan sekolah. Padahal, tes semacam itu hanya mengukur sebagian kecil dari kompetensi siswa. Bahkan tidak sedikit guru dan sekolah yang akhirnya fokus pada "drill" soal demi nilai yang bagus, dan melupakan esensi pembelajaran itu sendiri seperti berpikir kritis, memahami konsep, dan mengembangkan diri.

Kalau mau bicara standar internasional, kita bisa melihat perbandingan dari hasil tes seperti Programme for International Student Assessment (PISA). Tes ini mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains.

Sayangnya, hasil PISA Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara-negara lain, bahkan di Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa masih banyak PR yang harus kita kerjakan, khususnya dalam meningkatkan kemampuan dasar siswa, bukan cuma soal hafalan, tapi juga kemampuan analisis dan pemecahan masalah.

Tapi menurut saya, tolok ukur pendidikan yang baik itu tidak bisa hanya dari skor dan peringkat. Justru kita perlu melihat pendidikan secara lebih luas. Seberapa banyak siswa yang termotivasi untuk belajar, yang merasa nyaman di sekolah, yang bisa menemukan potensi dan passionnya masing-masing? Seberapa besar sekolah mampu menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua kalangan, termasuk anak-anak dari latar belakang yang kurang beruntung? Dan yang terpenting, apakah sistem pendidikan kita sudah benar-benar membekali generasi muda untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan?

Di sinilah peran guru dan kurikulum menjadi sangat krusial. Guru bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai fasilitator dan inspirator. Akan tetapi, sayangnya banyak guru kita yang terbebani administrasi, kurang mendapatkan pelatihan yang mendalam, atau belum diberi ruang untuk berinovasi. Pendidikan tidak akan pernah bisa maju kalau gurunya sendiri tidak dimanusiakan “Guru adalah pelita dalam gulita, tapi pelita pun butuh bahan bakar”. 

Sementara itu, kurikulum yang terus berganti tanpa arah yang jelas justru bikin bingung. Seringkali kurikulum terlalu padat, terlalu menekankan teori, dan kurang memberi ruang pada eksplorasi minat siswa. Kurikulum seharusnya menjadi panduan yang fleksibel, yang bisa menyesuaikan dengan kondisi sosial dan perkembangan zaman, bukan beban yang kaku dan menyulitkan guru maupun siswa.

Saya percaya, pendidikan yang baik itu harus menciptakan manusia yang utuh, cerdas, berkarakter, dan punya kontribusi nyata bagi lingkungan sekitarnya. Standar “bagus” atau tidaknya pendidikan seharusnya dilihat dari output jangka panjang, bukan hanya hasil ujian sesaat. Pendidikan bukan lomba cepat-cepatan lulus atau kumpulan angka prestasi, tapi proses memanusiakan manusia. Jadi, kalau hari ini kita masih sibuk mengejar ranking dan nilai, mungkin sudah waktunya kita mengubah cara pandang. (***)

Nama

Komentar

Berita Serupa yang Mungkin Anda Suka

Berita Terbaru